Amerika Serikat mulai mempertimbangkan untuk mempercepat pembangunan senjata energy kinetic dan memasangkan ke sejumlah platfofm untuk melawan kemajuan teknologi nuklir Rusia yang berpotensi mengancam dominasi militer taktis Amerika.
Disebut Kinetic Energy Projectile atau proyektil energi kinetik, senjata ini adalah hulu ledak berbasis tungsten yang diluncurkan dengan lebih dari tiga kali kecepatan suara dan mampu menerobos berbagai fragmen logam dan lapis baja.
Aviation Week melaporkan Angkatan Darat Amerika sedang berupaya untuk menempatkan super-senjata baru ke platform peluncuran yang mampu memasok energy yang cukup guna menembak proyektil pada kecepatan tersebut. Salah satu alasan menggunakan senjata adalah untuk menanggapi kebangkitan Rusia dalam membangun hulu ledak nuklir miniatur yang mampu ditembak oleh tank.
Mayor Jenderal William Hix, Direktur strategi Angkatan Darat Amerika, telah menyamakan Kinetic Energy Projectile yang dirancang oleh Lawrence Livermore National Laboratory di California dengan amunisi meriam besar yang bisa melakukan perjalanan pada 3-6 Mach dan merobek target keras.
“Cara yang mereka rancang cukup dahsyat. Saya tidak ingin berada di sekitar [senjata] itu. Tidak banyak yang bisa bertahan hidup, “kata Hix sebagaimana dilaporkan Aviation Week Kamis 13 April 2017.
“Jika Anda berada di sebuah tank tempur utama, jika Anda seorang anggota kru, Anda mungkin bertahan hidup tetapi kendaraan non-misi yang mampu, dan segala sesuatu yang tingkat perlindunganya di bawah itu akan mati. Itulah yang saya bicarakan.”
Senjata ini pertama kali diuji pada 2013 di Holloman Air Force Base di New Mexico dan tetap dalam fase konseptual, yang berarti militer AS kemungkinan belum menempatkannya dalam proyek. Juru bicara Angkatan Darat AS kepada Newsweek mengatakan senjata futuristik diuji menggunakan apa yang disebut metode Livermore, yang menggabungkan “simulasi komputer canggih dengan percobaan terfokus.”
“Proyektil energi kinetik adalah sistem hulu ledak yang mengambil keuntungan dari kecepatan terminal yang tinggi untuk memberikan lebih banyak energi ke target dibanding peledak bahan kimia,” kata Randy Simpson, seorang program manajer senjata di Lawrence Livermore National Laboratory.
Ketegangan meningkat antara Amerika dan Rusia bisa menjadi motivasi bagi Angkatan Darat untuk mengembangkan senjata ini. Pekan lalu, Presiden Donald Trump meluncurkan 59 rudal Tomahawk ke pangkalan udara Shayrat Suriah setelah menuduh Presiden Suriah Bashar al-Assad melakukan serangan senjata kimia terhadap warga sipil di kota Idlib. Rusia telah mendukung pemimpin Suriah selama perang sipil yang berlangsung enam tahun di negara tersebut dan telah menyalahkan pemberontak Suriah sebagai pemilik senjata tersebut.
Moskow juga mengatakan akan meningkatkan pertahanannya untuk militer Suriah dan menanggapi setiap agresi lebih lanjut oleh Amerika. Rusia memang belum mengancam Amerika dengan perang nuklir habis-habisan, tetapi dengan perkiraan 7.300 senjata nuklir di gudang mereka Moskow telah menjadi negara yang memiliki hulu ledak nuklir paling besar di dunia. Perkembangan teknologi militer Rusia bisa segera membawa senjata pemusnah massal ke medan perang.
T-14 Armata
Rusia telah merancang T-14 Armata yang dijelaskan oleh laporan intelijen Inggris sebagai langkah paling revolusioner dalam desain tank di setengah abad terakhir. Philip Karber, yang mengepalai Potomac Institute dan membantu menulis laporan Badan Intelijen Geo-Spasial Nasional 2015 berjudul Rusia ‘New Generation Warfare mengnatakan inovasi Armata berikutnya mungkin akan menjadikannya mampu membawa nuklir.
“Mereka sudah mengumumkan bahwa tindak lanjut pada tank Armata akan memiliki peluncur rudal 152 milimeter,” kata Karber, dikutip Defense One. “Mereka berbicara tentang hal itu memiliki kemampuan nuklir,”
Meski proyektil energy kinetic mungkin tidak menghasilkan dampak sama dengan hulu ledak nuklir berbasis tank itu mungkin bisa membantu untuk mencegah konflik masa depan antara kekuatan dunia.
Sumber:Jejaktapak.com
Komentar
Posting Komentar